A. Pengertian Masyarakat Desa
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya.
Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
1. Daerah dan letak dalam arti tanah yang meliputi luas, lokasi
2. Penduduknya dalam arti jumlah, struktur umur, mata pencaharian
3. Tata kehidupan dalam arti corak, pola tata pergaulan dan ikatan warga desa.
B. Karakteristik Masyarakat Perdesaan
Desa-desa di Indonesia sangat beragam. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat mengemukakan perlunya berbagai sistem prinsip yang dapat dipakai dalam mengklasifikasikan aneka warna bentuk desa di Indonesia. Di samping itu, untuk menandai ciri-ciri desa di Indonesia, perlu diperhitungkan pula faktor-faktor: 1) tingkat teknologi dan kondisi geografis, 2) keberagaman suku bangsa di Indonesia, 3) perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan, dan 4) pengaruh kekuasaan luar desa.
Raharjo (2004) dalam bukunya mengutip pendapat Paul H.
Landis yang menyatakan dalam garis besar ciri-ciri kebudayaan tradisional
masyarakat desa adalah sebagai berikut.
1. Adaptasi yang kuat terhadap lingkungan alamnya, sehingga pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam) nya. Contohnya: pertanian yang sangat tergantung pada jenis tanah, keadaan iklim dan sebagainya akan menentukan karakteristik suatu desa menurut jenis komoditas yang dihasilkan.
2. Rendahnya tingkat inovasi masyarakat.
3. Mengembangkan filsafat hidup yang organis. Refleksi dari filsafat ini adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas.
4. Pola kebiasaan hidup yang lamban, akibat pengaruh irama alam yang ajeg dan lamban.
5. Kepercayaan terhadap takhayul.
6. Hidup bersahaja.
7. Rendahnya kesadaran masyarakat akan waktu.
8. Cenderung bersifat praktis, tidak begitu mengindahkan estetika dan ornamen-ornamen, tidak berbasa-basi, sehingga menumbuhkan sifat jujur, terus terang dan bersahabat.
9. Memiliki standar moral yang kaku
Keberagaman desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya kesulitan dalam usaha untuk menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu kesulitan adalah kesulitan dalam mencari padanan desa di Jawa dengan fenomena serupa yang ada di luar Jawa. Usaha yang telah dilakukan antara lain adalah pembakuan desa di Indonesia lewat Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1969 (Nomor Desa 5/1/29) kepada para gubernur seluruh Indonesia.
Menurut Roucek dan Warren, untuk memahami masyarakat desa dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu:
1. Besarnya peranan kelompok primer.
2. Faktor geografis sebagai dasar pembentukan kelompok.
3. Hubungan bersifat akrab dan langgeng.
4. Homogen.
5. Keluarga sebagai unit ekonomi.
6. Populasi anak dalam proporsi lebih besar.
Menurut Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman faktor-faktor yang dapat menentukan karakteristik masyarakat desa dan kota adalah:
1. mata pencaharian;
2. ukuran komunitas;
3. tingkat kepadatan penduduk;
4. lingkungan;
5. diferensiasi sosial;
6. stratifikasi sosial;
7. interaksi sosial;
8. solidaritas sosial.
C. Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Adapun ciri yang menonjol pada masyarakat desa antara lain pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam) anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat penduduknya sedikit perbedaan penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat.
1. Lingkungan dan Orientasi Terhadap Alam
Desa berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis di daerah desa petani, realitas alam ini sangat vital menunjang kehidupannya. Kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan falsafah hidupnya menentukan.
2. Dalam Segi Pekerjaan/Mata Pencaharian
Umumnya mata pencaharian daerah perdesaan adalah bertani, sedangkan mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder sebagian besar penduduknya bertani.
3. Ukuran Komunitas
Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dan daerah perdesaan mempunyai penduduk yang rendah kilo meter perseginya.
4. Kepadatan Penduduknya
Kepadatan penduduknya lebih rendah, biasanya kelompok perumahan yang dikelilingi oleh tanah pertanian udaranya yang segar, bentuk interaksi sosial dalam kelompok sosial menyebabkan orang tidak terisolasi.
5. Diferensiasi Sosial Dan Pelapisan Sosial
Pada masyarakat desa yang homogenitas, derajat diferensiasi atau perbedaan sosial relatif lebih rendah. Masyarakat desa kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah tidak terlalu besar.
6. Pengawasan Sosial
Masyarakat desa pengawasan sosial pribadi dan ramah tamah disamping itu kesadaran untuk mentaati norma yang berlaku sebagai alat pengawasan sosial.
7. Pola Kepemimpinan dan Segi Politik
Menentukan kepemimpinan di daerah cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.
Pemimpin yang berdasarkan tradisi atau berdasarkan nilai-nilai sosial yang mendalam misal :
- Kyai
- Pendeta
- Tokoh adat dan
- Tokoh masyarakat
8. Dalam Segi Keluarga dan Pendidikan
Rasa persatuan dalam masyarakat desa sangat kuat. Peranan keluarga sangat penting dalam berbagai kehidupan, baik dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, adat istiadat dan agama.
Pendidikan keluarga mewariskan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, pendidikan sekolah sangat jarang dijumpai kalaupun ada pendidikan sekolah hanya terbatas pada tingkat dasar. Sebagai pelengkap pendidikan oleh keluarga atau masyarakat.
9. Dalam Segi Agama
Fungsi agama mengatur hubungan manusia dengan yang maha pencipta. Menjalankan perintah dan menjadi larangannya sesuai dengan aturan agama yang dianut.
10. Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan sosial pada masyarakat desa lebih tinggi disebabkan oleh homogenis masyarakat yang terlihat dalam tolong menolong (gotong royong) dan masyarakat.
11. Perilaku Masyarakat Desa
Pola kelakuan adalah suatu cara bertingkah laku yang diciptakan untuk ditiru oleh banyak orang, suatu cara bertindak menjadi suatu pola bertindak yang tetap melalui proses pergaulan (peniruan) yang dilakukan oleh banyak orang dalam waktu relatif lama. Sehingga terbentuklah suatu kebiasaan didalam kehidupan masyarakat luas didapati seperangkat kelakuan sosial karena pergaulan, kelakuan berpola itu menjadi suatu yang bersifat mekanis tanpa disertai dengan kemauan ataupun kesadaran.
Jika bernilai moral yang baik tindakan demikian tidak menimbulkan masalah, sebaliknya jika negatif menimbulkan masalah dalam masyarakat. Didalam masyarakat desa tidak ada persaingan, disamping pengaruh norma dan nilai juga adat istiadat yang kuat, sehingga perubahan sangat lambat. Perilaku yang terikat bersifat status, gambar dan pasif mewarnai kehidupan. Kebiasaan-kebiasaan lain dalam aktifitas kehidupan tolong menolong demikian dalam mengambil keputusan melalui masyarakat sehingga mencapai mufakat dalam menyelesaikan masalah hukum hal asing lagi.
D. Kebudayaan Masyarakat Perdesaan Dan Cara Hidup (The Way of Life) Dalam Mempertahankan Kebudayaan Tradisional Masyarakat Perdesaan
1. Pola Kebudayaan Masyarakat Desa
Terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa masyarakat pedesaan yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan perikehidupan masyarakat desa.
Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh:
1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam.
2) tingkat teknologi yang dimiliki.
3) sistem produksi yang diterapkan.
Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional yaitu:
1) adaptasinya pasif.
2) rendahnya tingkat invasi.
3) tebalnya rasa kolektivitas.
4) kebiasaan hidup yang lamban.
5) kepercayaan kepada takhayul.
6) kebutuhan material yang bersahaja.
7) rendahnya kesadaran terhadap waktu.
8) cenderung bersifat praktis.
9) standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa) seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Pelbagai kerajaan yang tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
Corak dan sifat komunitas desa secara umum didasarkan pada sistem mata pencaharian pokok mereka yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian lahan basah. Di samping itu jenis-jenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe komunitas. Pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan, dan 2) ikatan emosional di antara warganya. Komunitas desa diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya.
Selain komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas desa nelayan. Faktor penentu struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan sarana menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya ada di tengah-tengah kedua strata tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.
Kaitannya dengan tradisi perdesaan, Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan.
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa).Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
2. Cara Hidup (The Way of Life) Masyarakat Perdesaan sebagai Bagian Dari Kebudayaan Tradisional
Terdapat dua aspek pada masyarakat manusia yaitu aspek statis dan aspek dinamis. Sosiologi melihat aspek statis masyarakat ini melalui konsep struktur sosial, sedangkan aspek dinamis dilihat dapat konsep proses sosial dan perubahan sosial.
Perubahan sosial tidak hanya terkait dengan luasnya cakupan perubahan, melainkan juga terkait dengan dimensi irama, besaran pengaruh, dan kesengajaan. Dilihat dari dimensi irama maka dibedakan antara perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang pengaruhnya besar. Dilihat dari dimensi kesengajaan maka dibedakan atas perubahan yang dikehendaki/ direncanakan dan perubahan yang tidak kehendaki/ direncanakan. Di samping itu perubahan sosial juga menyangkut faktor-faktor penyebab terjadinya proses perubahan.
Dalam kaitannya dengan perubahan tersebut terdapat Komunitas Peasan (Peasant) dalam masyarakat pedesaan. Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasan. Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasan yang bersifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasan, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasan yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/kolektivitas yang tinggi.
Sabtu, 04 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar